Daerah

Mantan Suami Dituntut 1 Tahun Penjara karena Diduga Memalsukan Akta Hibah

Mantan Suami Dituntut 1 Tahun Penjara karena Diduga Memalsukan Akta Hibah

Banyuwangi – Harta dunia memang selalu menyilaukan mata. Kalimat tersebut cocok kiranya untuk menggambarkan kisah Agus Sudirman (78) dan Sulfia Irani (72). Gegara harta, pria asal Jalan Lingkungan Jogolatri, Kelurahan Sumberejo, Banyuwangi, Jawa Timur, ini harus menerima gugatan dari Sulfia, yang tak lain adalah mantan istri.


Agus, sapaan akrab Agus Sudirman, digugat atas dugaan pemalsuan sejumlah akta hibah bidang tanah dan bangunan.


Singkat cerita, sejak awal, hubungan asmara antara Agus dan Sulfia, terbilang cukup rumit. Sebelum keduanya menikah di tahun 2003, Sulfia merupakan kakak ipar dari Agus. Namun ikatan cinta keduanya kembali kandas alias bercerai di tahun 2022, dengan tanpa keturunan. Dan disitulah polemik mulai pecah.


Gegara harta, Sulfia melaporkan Agus ke Polda Jatim. Si mantan suami tersebut dituding telah memalsukan akta hibah tanah dan bangunan. Akta hibah tersebut ditujukan Agus untuk anak dari istri pertamanya. Sejumlah tanah dan bangunan tersebut, diantaranya berada di Kelurahan Singotrunan, Desa Dadapan, Kecamatan Kabat dan Desa Kedaleman, Kecamatan Rogojampi.


Dari Polda Jatim, kini kasus antar mantan ini berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi.


Pada Selasa (3/9/2024), perkara sudah memasuki sidang pembacaan Pledoi. Agus, selaku terdakwa, hadir langsung dengan didampingi oleh Kuasa Hukumnya, Eko Sutrisno SH.


Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Dr. I Gede Yuliarta, SH, MH, tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Andryawan Perdana Dista Agara, SH, menuntut Agus, selaku terdakwa dengan hukuman penjara selama 1 tahun. 


Agus dijerat Pasal 266 ayat 2 KUHP tentang memakai surat atau akta palsu yang mana isinya tidak sejati atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu yang apabila digunakan dapat menimbulkan kerugian.


“Dakwaan jaksa tidak terbukti, dikarenakan dalam dakwaan itu jaksa tidak pernah membuktikan surat yang dipalsukan oleh klien kita. Bahkan jika memang palsu, maka harus ada pembandingnya atau aslinya. Sedangkan dalam proses persidangan tidak pernah ada pembanding aslinya,” ujar Kuasa Hukum Agus Sudirman, Eko Sutrisno.


Eko menyebut, bahwa dalam dakwaan, akta hibah yang dipersoalkan dibuat secara resmi oleh pejabat berwenang. 


“Bukti dari Lab Forensik Polda Jatim atas dugaan tanda tangan itu palsu saja tidak dapat dibuktikan oleh Jaksa, sehingga tuntutan jaksa tidak mendasar,” katanya.


Menurut Eko, kalau memang itu tanda tangan palsu, seharusnya ada tersangka atau orang lain juga yang diadili. Karena Agus, selaku kliennya hanya sebagai pemberi hibah. Seharusnya, masih kata Eko, harus ada dukungan alat alat bukti yang lain. Baik bukti surat maupun saksi.


“Bahkan tidak ada saksi yang melihat terdakwa melakukan pemalsuan tanda tangan tersebut,” terang Eko.


“Dugaan pemalsuaan itu adalah tanda tangan yang ada di akta hibah. Sedangkan klien kami sebagai pemberi hibah yang memberikan secara sukarela,” imbuhnya.


Dengan kata lain, selaku pemberi hibah, Agus tidak mendapat keuntungan apa pun. Karena dia justru melepaskan hak nya.


“Sesuai penjelasan saksi ahli yang dihadirkan Jaksa, bahwa yang bertanggung jawab dalam perbuatan pidana adalah pihak yang diuntungkan dalam proses yang diduga palsu tersebut, dan dalam hal ini tentunya bukan pemberi hibah,” tegasnya.


Sementara JPU menyebut terdakwa telah menikmati hasil pidana dan telah mengakibatkan kerugian kepada korban Sulfia.


Eko berharap majelis hakim PN Banyuwangi, bisa memberi keputusan dengan penuh asas keadilan. Dengan menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah.


“Kita tentunya berhadap majelis hakim bisa memberikan putusan yang bijak,” ungkap Eko.

 

Anak kandung Agus Sudirman, Awen Harsono menambahkan. Harta yang menjadi gonjang-ganjing antara ayahnya dan Sulfia, disinyalir merupakan hasil jerih payah sang ayah dengan ibunya, yakni istri pertama Agus. 


Keyakinan tersebut muncul lantaran sejak menikah ditahun 1965 dan bercerai ditahun 2000, Agus dan ibunya, Endang Setiawati, belum membagi harta gono gini.


Selanjutnya dalam menjalankan roda perekonomian, Agus menyewakan harta bersama dengan istri pertama, berupa 4 buah Rumah dan Toko (Ruko).


“Hasilnya tidak pernah di bagi ke ibu saya. Tapi hasil uang sewanya dibelikan aset-aset yang kemudian dihibahkan tersebut,” katanya.


Menurut Awen, Sulfia alias Siu Ling, selaku istri kedua Agus, tidak perlu tanda tangan di sejumlah akta hibah tersebut. kenapa?. Karena berdasarkan keputusan PN Banyuwangi, No : 146/pdt.g/2024/PN Byw, telah dijabarkan bahwa semua harta yang dihibahkan tersebut adalah harta bersama antara Agus dengan Endang Setiawati, selaku istri pertama.


“Yang artinya, tanda tangan persetujuan harusnya adalah Endang Setiawati,” cetusnya.


Awen juga mengungkapkan bahwa dalam perkara ini terdapat dugaan adanya dokumen palsu yang dijadikan bukti saat proses pemeriksaan di Polda Jatim. Yakni dokumen nota toko emas Walet Mas, yang disebut beralamat di Jalan Raya No 32, Pertokoan Pasar Baru, Rogojampi. Dokumen yang disodorkan oleh Sulfia kepada penyidik Polda Jatim tersebut diduga kuat palsu. Mengingat ketika ditelusuri, toko emas Walet Mas, tidak pernah ada.

 

“Dokumen itu digunakan sebagai dokumen pembanding di Lab For yang diserahkan ke penyidik Polda Jatim, sehingga ayah saya (Agus) ditetapkan menjadi tersangka. Dalam dokumen itu juga ditemukan tanda tangan Sulfia yang berbeda-beda,” beber Awen.


“Terkait nota yang diduga palsu itu, sudah kami laporkan ke Polrestabes Surabaya,” imbuhnya. 


Menurut pendapat Awen, masalah ini seharusnya tidak di p21 dulu. Pasalnya masih ada gugatan perdata yang berjalan, namun dipaksakan p21.


“Kuasa Hukum Ayah saya, sudah menginformasikan ke penyidik Polda Jatim bahwa ada nota yang diduga kuat palsu, yang digunakan dan tanda tangan yang berbeda beda. Selain itu, terdapat pula gugatan perdata yang sedang berlangsung dan terbukti benar bahwa harta yang dihibahkan tersebut benar adalah harta bersama ayah (Agus) dan ibu saya (Endang),” jelas Awen. (*)